Berbagai macam Operating System (OS) ada di dunia ini, mungkin kita lebih familliar dengan Windows, tapi apa salahnya juga kita juga mengenal LINUX. Linux merupakan Operating System yang bersifat "Open Source" dalam artian bebas untuk digunakan, didistribusikan, dan sebagainya. Kali ini kita akan membahas Linux dari Distro Linux terpopuler yaitu Ubuntu.
Akhirnya pada tanggal 13
Oktober 2011 (atau 14 Oktober 2011 waktu Indonesia) kemarin, pihak
Canonical merilis Ubuntu 11.10 secara resmi. Rilis terbaru ini diberi
nama kode berupa “Oneiric Ocelot”. Rilis kali ini membawa beberapa
perubahan yang cukup mencolok dari rilis sebelumnya (
Ubuntu 11.04 Natty Narwhal).
Saya sendiri akhirnya memutuskan untuk menginstal Ubuntu versi
terbaru ini secara ‘fresh-install’ atau ‘clean-install’ (setelah
sebelumnya mengalami masalah yang cukup mengesalkan ketika berhasil
melakukan ‘upgrade’ secara online). Apa masalahnya? Salah satunya yaitu
tidak bisa dibukanya direktori home melalui Nautilus. Begitu pula
direktori/folder lainnya. Satu-satunya jalan untuk bisa membukanya yaitu
melalui aplikasi File Manager. Namun tetap saja jadi agak repot (kurang
praktis), sehingga saya putuskan untuk men-’delete’ partisi Ubuntu
hasil ‘upgrade’ yang bermasalah tersebut.
Mulai dari nol kembali akhirnya. Tapi saya bersyukur juga. Dengan
demikian, saya bisa menjajal Ubuntu 11.10 secara bersih tanpa
“kontaminasi” hasil upgrade dari versi sebelumnya. Saya pun menginstal
Ubuntu 11.10 Oneiric Ocelot melalui ‘USB flashdisk’ (dengan bantuan aplikasi ‘
Universal-USB-Installer‘) untuk membuat Live USB-nya. Pembuatan Live USB saya lakukan di sistem operasi Windows XP.
Instalasi pun berjalan mulus dan tidak begitu lama. Saya menginstal Ubuntu 11.10 ini di bekas
partisi milik
Ubuntu 11.04
yang telah saya hapus. Ukuran partisinya lebih dari cukup, yakni
sebesar 21,9 GB. Usai berhasil menginstalnya, ukuran total partisi
berkurang sekitar 2,2 GB.
Lalu, apa saja yang berbeda di Ubuntu 11.10 ini?
- Kernel baru (versi 3.0.0-12-generic) dan juga dukungan dekstop Gnome terbaru (versi 3.2.0).
gambar 1 (keterangan sistem)
- Tampilan menu utama.
gambar 2 (menu utama)
Sebenarnya tidak banyak berubah, kecuali adanya tambahan 4 icon kecil
di bagian bawah. Namun sayangnya, ketika icon-icon tersebut disorot via
‘pointer‘ menggunakan ‘mouse’/tetikus, tidak ada keterangan sedikit pun tentang apa yang bisa menggambarkannya jika diklik.
gambar 3 (mini icon menu)
Jadi dalam hal ini, pengguna disuruh menerka-nerka atau melakukan
eksplorasi lebih lanjut agar mengetahui fungsi icon navigasi tersebut.
Mungkin desainer icon menu tersebut berpikir bahwa pengguna sudah cukup
paham makna gambar-gambar yang dijadikan icon menunya.
-
Perubahan selanjutnya terletak pada desain tampilan sub-sub menu yang ada di sisi kanan. Jika di Ubuntu 11.04
menggunakan list penanda berupa kotak ‘checkbox’, maka di Ubuntu 11.10
ini, tampilan list penanda sub-sub menu (tipe) softwarenya berupa
’rounded-box’ yang mengelilinginya. Namun sayang sekali, ketika sub menu
atau sub kategori software tersebut disorot menggunakan pointer, tidak
ada efek ‘hover’ sama sekali, padahal efek ‘hover’ saat sebuah menu
navigasi disorot adalah salah satu pendukung aksesibilitas yang cukup
penting.
gambar 4 (sub kategori tanpa efek ‘hover’)
Kenyataannya, yang ada cuma efek ‘focus’ (efek tampilan usai menu tersebut diklik).
gambar 5 (efek focus sub kategori)
-
Perubahan lain yang terlihat cukup mencolok yaitu pada tampilan menu ‘System Settings’
yang tampak disederhanakan. Tidak ada lagi pemisahan berdasarkan
kategori. Semua menu untuk melakukan kustomisasi digabungkan menjadi
satu (tanpa pembatas/penanda berdasarkan kategorinya).
Namun sayangnya (lagi-lagi) tidak ada efek apapun saat pengguna
mengarahkan pointer komputernya di atas icon-icon menu yang tersaji.
gambar 6 (icon menu system settings)
Hal sepele seperti ini sebenarnya cukup penting dan tidak bisa
diabaikan begitu saja. Setidaknya berupa perubahan warna latar icon
ketika ia disorot menggunakan pointer. Atau bisa juga cukup dengan efek
kursor berupa tangan yang akan mengklik icon tersebut (saat pengguna
mengarahkan pointer di atas icon menu). Kenyataannya, salah satu dari
kedua efek pendukung aksesibilitas tersebut sama sekali tidak saya
temukan. Bukan cuma pada menu ‘System Settings’, namun juga pada menu
utama (gambar 2).
-
Kita lanjut ke tampilan jendela kumpulan folder/direktori. Saya lihat juga berubah cukup drastis.
gambar 7 (jendela file/folder)
Apa yang baru pada tampilan jendela folder (nautilus) di atas? Yang
paling kentara yaitu adanya pemisahan antara partisi milik sistem
operasi yang sedang aktif (ditandai dengan keterangan berupa kategori
‘Computer’) dan partisi lain yang bukan menjadi bagian sistem operasi
yang sedang aktif tersebut (keterangan berupa ‘Devices’).
Pada gambar di atas (bagian ‘Devices’), JANGKRIK, DODOL, Chakra, dan
LinuxMint adalah partisi-partisi di luar sistem Ubuntu, sedangkan Home,
Dekstop, Documents, Music, Pictures, Videos, File System dan Trash
adalah direktori yang berada pada partisi Ubuntu 11.10. Pemisahan ini
cukup positif dalam membantu pengguna untuk membedakan keduanya.
-
Lanjut lagi ke menu ‘Appearance‘ (menu untuk melakukan perubahan tampilan dekstop dan tema). Saya lihat berubah sangat drastis.
gambar 8 (menu appearance)
Sayangnya, saya tidak menemukan sub menu atau tombol untuk melakukan
kustomisasi lebih lanjut jika pengguna kurang suka dengan tampilan
default tema yang disediakan. Tidak ada pula tombol/menu untuk
menginstal tema-tema lain di luar tema yang ada. Hmm, mengapa pengembang
Ubuntu justru membatasi/menghambat pengguna untuk melakukan kustomisasi
lebih jauh lagi? Apalagi tema bawaan yang disediakan cuma ada 4 buah,
yaitu Ambiance (‘default-theme’), Radiance, HighContras, dan HighContrasInverse.
Jujur saya, hal ini membuat saya sedikit kesal karena tidak bebas
lagi mengutak-atik tampilan Ubuntu. Tidak ada lagi pula pilihan untuk
mengkustomisasi tampilan kontrol jendela, warnanya, ‘window border’,
serta ‘icon’ dan ‘pointer’. Apakah ini berarti bahwa pengembang Ubuntu
cenderung memaksa pengguna agar hanya menggunakan tema default atau tema
yang sudah disediakan? Khawatir jika Ubuntu akan kehilangan ciri khas
temanya jika memberikan keleluasan lebih bagi pengguna untuk
mengkustomisasi tampilan?
-
Mari kita beralih ke tampilan jendela aplikasi ‘LibreOffice‘.
Ternyata global menu khas Unity (seperti pada Ubuntu 11.04) sudah tidak
‘built-in’ lagi dengan aplikasi LibreOffice. Bar navigasi bagian atas
LibreOffice sudah menyatu kembali dengan jendela aplikasinya. Tidak lagi
terpisah atau berada pada sudut kiri atas seperti pada Ubuntu Natty
Narwhal.
gambar 9 (aplikasi LibreOffice)
Saya pribadi cukup senang dengan perubahan kembali ke asal ini,
soalnya saya kurang suka dengan model ‘global menu’ ala Mac OS itu. Bagi
saya, ‘global menu’ kurang mendukung aksesibilitas dan berpotensi
membingungkan pengguna pemula. Inilah alasan mengapa ada sebagian
pengguna Linux berbasis Ubuntu yang lebih suka dengan model dekstop
klasik daripada dekstop Unity bawaan Ubuntu yang mulai diperkenalkan
sejak Ubuntu 11.04 lalu tersebut.
-
Lalu, perubahan mencolok lainnya saya temukan pada aplikasi ‘Ubuntu Software Center‘
yang tersusun dari 3 menu utama, yaitu ‘What’s News’, ‘Top Rated’, dan
list kategori software. Ukuran dimensi jendelanya juga jauh lebih besar
dari sebelumnya, yaitu 1090 x 710.
gambar 10 (Ubuntu Software Center)
Nah, di aplikasi inilah saya baru menemukan efek ‘hover’ saat
pengguna mengarahkan pointer komputernya di atas icon menu maupun list
navigasi yang ada. Efek ‘hover’ tersebut berupa perubahan pointer
menjadi kursor berupa tangan saat pengguna menyorot salah satu icon menu
atau list navigasi.
gambar 11 (efek hand-cursor)
gambar 12 (efek hand-cursor)
Sebenarnya saya berharap tidak sekadar efek kursor berupa tangan,
namun ada baiknya juga berupa perubahan warna latar. Tapi efek kursor
tangan saja sudah cukup membantu aksesibilitas.
Masih tentang aplikasi ‘Ubuntu Software Center’. Ketika
masuk/mengklik salah satu kategori software (misalnya ‘Developer
Tools’), kita akan disuguhkan menu ‘Top Rated’ pada bagian bawahnya.
Cukup membantu pengguna dalam memberi gambaran/informasi tentang
software apa saja yang banyak disukai oleh pengguna lainnya.
Pengklasifikasian kategori ‘Developer Tools’ menjadi sub-sub kategori
yang lebih kecil juga sangat membantu pengguna dalam memilah-milah
aplikasi sesuai bidangnya. Begitu pula pada beberapa kategori utama
lainnya.
gambar 13 (kategori Internet)
Satu Hal yang Cukup Mengejutkan
Tidak biasanya pihak Canonical selaku pengembang Ubuntu mencopot
aplikasi ‘Synaptic Package Manager’ dalam paket rilis Ubuntu. Ya, saya
cukup kaget dalam hal ini. Saya tidak menemukan ‘Synaptic Package
Manager’ dalam daftar aplikasi/utilitas yang ‘built-in’ pada Ubuntu
11.10. Padahal sudah lumrah diketahui bahwa ‘Synaptic Package Manager’
adalah bagian tak terpisahkan dari trionya dengan aplikasi ‘Update
Manager’ dan ‘Ubuntu Software Center’.
Atas dasar pertimbangan apa pihak pengembang Ubuntu “menendang”
aplikasi ‘Synaptic Package Manager’ dari bundel paket rilis Ubuntu
11.10?
Saya pun lalu coba menginstalnya. Namun lagi-lagi hal aneh terjadi.
Saya tidak bisa membuka aplikasi tersebut, padahal password root sudah
saya masukkan. Jendela aplikasi ‘Synaptic Package Manager’ cuma muncul
sekitar setengah detik, lalu tertutup kembali secara otomatis. Apakah
itu pertanda bahwa aplikasi tersebut tidak lagi dianjurkan untuk
dipakai? Siapa tahu pihak pengembang sudah memaksimalkan 2 aplikasi
serupa lainnya untuk menggantikan fungsi ‘Synaptic Package Manager’. Ya,
ada kemungkinan ‘Update Manager’ dan terutama ‘Ubuntu Software Center’
sudah dirancang/disempurnakan sebagai pengelola segala aplikasi untuk
pengguna Ubuntu 11.10.
Masalah klasik seputar aplikasi Multimedia
Seperti biasanya (usai saya menginstal Ubuntu versi terbaru), hampir
selalu ada masalah saat hendak memutar file MP3 maupun video. Misalnya
saat saya hendak memutar MP3 melalui aplikasi
Banshe (pemutar
‘sound’ default bawaan Ubuntu 11.10), ternyata membutuhkan
plugin/ekstensi tambahan lagi, yaitu ‘gstreamer0.10-fluendo-mp3′ dan
‘gstreamer0.10-plugins-ugly’. Untuk menginstalnya, tentu saja komputer
kita harus terkoneksi dengan jaringan Internet.
Begitu pula ketika saya hendak memutar file video melalui aplikasi
Movie Player. Ternyata harus menginstal plugin ‘gstreamer0.10-ffmpeg’ terlebih dahulu. Sebelumnya, muncul kotak dialog seperti di bawah ini.
gambar 14 (kotak dialog pencarian plugin)
Wah, cukup merepotkan kalau begitu. Harusnya sih sudah ‘built-in’
(agar pengguna tinggal menggunakan aplikasi multimedia yang sudah
terinstal). Mengapa pengembang Ubuntu mengabaikan hal ini?
Di luar beberapa kekurangan yang saya temui di atas, Ubuntu 11.10
pada dasarnya membawa sejumlah perubahan yang cukup drastis dari versi
sebelumnya. Tentu saja belum bisa saya katakan memuaskan. Untuk masalah
driver VGA SiS 671 saja, saya belum menemukannya dalam bundel paket
Ubuntu 11.10 ini, sehingga pengguna harus berjuang lagi untuk menginstal
driver tersebut (agar resolusi layar monitor komputer mereka
benar-benar sesuai aslinya).
Bagi Anda yang sudah mencoba Ubuntu 11.10, apa pendapat Anda mengenainya?