Kamis, 03 November 2011

Review Ubuntu 11.10 Oneiric Ocelot Final Release

Berbagai macam Operating System (OS) ada di dunia ini, mungkin kita lebih familliar dengan Windows, tapi apa salahnya juga kita juga mengenal LINUX. Linux merupakan Operating System yang bersifat "Open Source" dalam artian bebas untuk digunakan, didistribusikan, dan sebagainya. Kali ini kita akan membahas Linux dari Distro Linux terpopuler yaitu Ubuntu.

Akhirnya pada tanggal 13 Oktober 2011 (atau 14 Oktober 2011 waktu Indonesia) kemarin, pihak Canonical merilis Ubuntu 11.10 secara resmi. Rilis terbaru ini diberi nama kode berupa “Oneiric Ocelot”. Rilis kali ini membawa beberapa perubahan yang cukup mencolok dari rilis sebelumnya (Ubuntu 11.04 Natty Narwhal).
Saya sendiri akhirnya memutuskan untuk menginstal Ubuntu versi terbaru ini secara ‘fresh-install’ atau ‘clean-install’ (setelah sebelumnya mengalami masalah yang cukup mengesalkan ketika berhasil melakukan ‘upgrade’ secara online). Apa masalahnya? Salah satunya yaitu tidak bisa dibukanya direktori home melalui Nautilus. Begitu pula direktori/folder lainnya. Satu-satunya jalan untuk bisa membukanya yaitu melalui aplikasi File Manager. Namun tetap saja jadi agak repot (kurang praktis), sehingga saya putuskan untuk men-’delete’ partisi Ubuntu hasil ‘upgrade’ yang bermasalah tersebut.
Mulai dari nol kembali akhirnya. Tapi saya bersyukur juga. Dengan demikian, saya bisa menjajal Ubuntu 11.10 secara bersih tanpa “kontaminasi” hasil upgrade dari versi sebelumnya. Saya pun menginstal Ubuntu 11.10 Oneiric Ocelot melalui ‘USB flashdisk’ (dengan bantuan aplikasi ‘Universal-USB-Installer‘) untuk membuat Live USB-nya. Pembuatan Live USB saya lakukan di sistem operasi Windows XP.
Instalasi pun berjalan mulus dan tidak begitu lama. Saya menginstal Ubuntu 11.10 ini di bekas partisi milik Ubuntu 11.04 yang telah saya hapus. Ukuran partisinya lebih dari cukup, yakni sebesar 21,9 GB. Usai berhasil menginstalnya, ukuran total partisi berkurang sekitar 2,2 GB.

Lalu, apa saja yang berbeda di Ubuntu 11.10 ini?

  • Kernel baru (versi 3.0.0-12-generic) dan juga dukungan dekstop Gnome terbaru (versi 3.2.0). system
    gambar 1 (keterangan sistem)
  • Tampilan menu utama. launcher
    gambar 2 (menu utama)
    Sebenarnya tidak banyak berubah, kecuali adanya tambahan 4 icon kecil di bagian bawah. Namun sayangnya, ketika icon-icon tersebut disorot via ‘pointer‘ menggunakan ‘mouse’/tetikus, tidak ada keterangan sedikit pun tentang apa yang bisa menggambarkannya jika diklik.
    icon kecil
    gambar 3 (mini icon menu)
    Jadi dalam hal ini, pengguna disuruh menerka-nerka atau melakukan eksplorasi lebih lanjut agar mengetahui fungsi icon navigasi tersebut. Mungkin desainer icon menu tersebut berpikir bahwa pengguna sudah cukup paham makna gambar-gambar yang dijadikan icon menunya.
  • Perubahan selanjutnya terletak pada desain tampilan sub-sub menu yang ada di sisi kanan. Jika di Ubuntu 11.04 menggunakan list penanda berupa kotak ‘checkbox’, maka di Ubuntu 11.10 ini, tampilan list penanda sub-sub menu (tipe) softwarenya berupa ’rounded-box’ yang mengelilinginya. Namun sayang sekali, ketika sub menu atau sub kategori software tersebut disorot menggunakan pointer, tidak ada efek ‘hover’ sama sekali, padahal efek ‘hover’ saat sebuah menu navigasi disorot adalah salah satu pendukung aksesibilitas yang cukup penting.
    tanpa hover
    gambar 4 (sub kategori tanpa efek ‘hover’)
    Kenyataannya, yang ada cuma efek ‘focus’ (efek tampilan usai menu tersebut diklik).
    focus
    gambar 5 (efek focus sub kategori)
  • Perubahan lain yang terlihat cukup mencolok yaitu pada tampilan menu ‘System Settings’ yang tampak disederhanakan. Tidak ada lagi pemisahan berdasarkan kategori. Semua menu untuk melakukan kustomisasi digabungkan menjadi satu (tanpa pembatas/penanda berdasarkan kategorinya).
    Namun sayangnya (lagi-lagi) tidak ada efek apapun saat pengguna mengarahkan pointer komputernya di atas icon-icon menu yang tersaji.
    system settings
    gambar 6 (icon menu system settings)
    Hal sepele seperti ini sebenarnya cukup penting dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Setidaknya berupa perubahan warna latar icon ketika ia disorot menggunakan pointer. Atau bisa juga cukup dengan efek kursor berupa tangan yang akan mengklik icon tersebut (saat pengguna mengarahkan pointer di atas icon menu). Kenyataannya, salah satu dari kedua efek pendukung aksesibilitas tersebut sama sekali tidak saya temukan. Bukan cuma pada menu ‘System Settings’, namun juga pada menu utama (gambar 2).
  • Kita lanjut ke tampilan jendela kumpulan folder/direktori. Saya lihat juga berubah cukup drastis.
    folder home
    gambar 7 (jendela file/folder)
    Apa yang baru pada tampilan jendela folder (nautilus) di atas? Yang paling kentara yaitu adanya pemisahan antara partisi milik sistem operasi yang sedang aktif (ditandai dengan keterangan berupa kategori ‘Computer’) dan partisi lain yang bukan menjadi bagian sistem operasi yang sedang aktif tersebut (keterangan berupa ‘Devices’).
    Pada gambar di atas (bagian ‘Devices’), JANGKRIK, DODOL, Chakra, dan LinuxMint adalah partisi-partisi di luar sistem Ubuntu, sedangkan Home, Dekstop, Documents, Music, Pictures, Videos, File System dan Trash adalah direktori yang berada pada partisi Ubuntu 11.10. Pemisahan ini cukup positif dalam membantu pengguna untuk membedakan keduanya.
  • Lanjut lagi ke menu ‘Appearance‘ (menu untuk melakukan perubahan tampilan dekstop dan tema). Saya lihat berubah sangat drastis.
    Appearance
    gambar 8 (menu appearance)
    Sayangnya, saya tidak menemukan sub menu atau tombol untuk melakukan kustomisasi lebih lanjut jika pengguna kurang suka dengan tampilan default tema yang disediakan. Tidak ada pula tombol/menu untuk menginstal tema-tema lain di luar tema yang ada. Hmm, mengapa pengembang Ubuntu justru membatasi/menghambat pengguna untuk melakukan kustomisasi lebih jauh lagi? Apalagi tema bawaan yang disediakan cuma ada 4 buah, yaitu Ambiance (‘default-theme’), Radiance, HighContras, dan HighContrasInverse.
    Jujur saya, hal ini membuat saya sedikit kesal karena tidak bebas lagi mengutak-atik tampilan Ubuntu. Tidak ada lagi pula pilihan untuk mengkustomisasi tampilan kontrol jendela, warnanya, ‘window border’, serta ‘icon’ dan ‘pointer’. Apakah ini berarti bahwa pengembang Ubuntu cenderung memaksa pengguna agar hanya menggunakan tema default atau tema yang sudah disediakan? Khawatir jika Ubuntu akan kehilangan ciri khas temanya jika memberikan keleluasan lebih bagi pengguna untuk mengkustomisasi tampilan?
  • Mari kita beralih ke tampilan jendela aplikasi ‘LibreOffice‘. Ternyata global menu khas Unity (seperti pada Ubuntu 11.04) sudah tidak ‘built-in’ lagi dengan aplikasi LibreOffice. Bar navigasi bagian atas LibreOffice sudah menyatu kembali dengan jendela aplikasinya. Tidak lagi terpisah atau berada pada sudut kiri atas seperti pada Ubuntu Natty Narwhal.
    libreoffice
    gambar 9 (aplikasi LibreOffice)
    Saya pribadi cukup senang dengan perubahan kembali ke asal ini, soalnya saya kurang suka dengan model ‘global menu’ ala Mac OS itu. Bagi saya, ‘global menu’ kurang mendukung aksesibilitas dan berpotensi membingungkan pengguna pemula. Inilah alasan mengapa ada sebagian pengguna Linux berbasis Ubuntu yang lebih suka dengan model dekstop klasik daripada dekstop Unity bawaan Ubuntu yang mulai diperkenalkan sejak Ubuntu 11.04 lalu tersebut.
  • Lalu, perubahan mencolok lainnya saya temukan pada aplikasi ‘Ubuntu Software Center‘ yang tersusun dari 3 menu utama, yaitu ‘What’s News’, ‘Top Rated’, dan list kategori software. Ukuran dimensi jendelanya juga jauh lebih besar dari sebelumnya, yaitu 1090 x 710.
    software center
    gambar 10 (Ubuntu Software Center)
    Nah, di aplikasi inilah saya baru menemukan efek ‘hover’ saat pengguna mengarahkan pointer komputernya di atas icon menu maupun list navigasi yang ada. Efek ‘hover’ tersebut berupa perubahan pointer menjadi kursor berupa tangan saat pengguna menyorot salah satu icon menu atau list navigasi.
    kursor tangan
    gambar 11 (efek hand-cursor)
    kursor tangan
    gambar 12 (efek hand-cursor)
    Sebenarnya saya berharap tidak sekadar efek kursor berupa tangan, namun ada baiknya juga berupa perubahan warna latar. Tapi efek kursor tangan saja sudah cukup membantu aksesibilitas.
    Masih tentang aplikasi ‘Ubuntu Software Center’. Ketika masuk/mengklik salah satu kategori software (misalnya ‘Developer Tools’), kita akan disuguhkan menu ‘Top Rated’ pada bagian bawahnya. Cukup membantu pengguna dalam memberi gambaran/informasi tentang software apa saja yang banyak disukai oleh pengguna lainnya. Pengklasifikasian kategori ‘Developer Tools’ menjadi sub-sub kategori yang lebih kecil juga sangat membantu pengguna dalam memilah-milah aplikasi sesuai bidangnya. Begitu pula pada beberapa kategori utama lainnya.
    kategori internet
    gambar 13 (kategori Internet)

Satu Hal yang Cukup Mengejutkan

Tidak biasanya pihak Canonical selaku pengembang Ubuntu mencopot aplikasi ‘Synaptic Package Manager’ dalam paket rilis Ubuntu. Ya, saya cukup kaget dalam hal ini. Saya tidak menemukan ‘Synaptic Package Manager’ dalam daftar aplikasi/utilitas yang ‘built-in’ pada Ubuntu 11.10. Padahal sudah lumrah diketahui bahwa ‘Synaptic Package Manager’ adalah bagian tak terpisahkan dari trionya dengan aplikasi ‘Update Manager’ dan ‘Ubuntu Software Center’.
Atas dasar pertimbangan apa pihak pengembang Ubuntu “menendang” aplikasi ‘Synaptic Package Manager’ dari bundel paket rilis Ubuntu 11.10?
Saya pun lalu coba menginstalnya. Namun lagi-lagi hal aneh terjadi. Saya tidak bisa membuka aplikasi tersebut, padahal password root sudah saya masukkan. Jendela aplikasi ‘Synaptic Package Manager’ cuma muncul sekitar setengah detik, lalu tertutup kembali secara otomatis. Apakah itu pertanda bahwa aplikasi tersebut tidak lagi dianjurkan untuk dipakai? Siapa tahu pihak pengembang sudah memaksimalkan 2 aplikasi serupa lainnya untuk menggantikan fungsi ‘Synaptic Package Manager’. Ya, ada kemungkinan ‘Update Manager’ dan terutama ‘Ubuntu Software Center’ sudah dirancang/disempurnakan sebagai pengelola segala aplikasi untuk pengguna Ubuntu 11.10.

Masalah klasik seputar aplikasi Multimedia

Seperti biasanya (usai saya menginstal Ubuntu versi terbaru), hampir selalu ada masalah saat hendak memutar file MP3 maupun video. Misalnya saat saya hendak memutar MP3 melalui aplikasi Banshe (pemutar ‘sound’ default bawaan Ubuntu 11.10), ternyata membutuhkan plugin/ekstensi tambahan lagi, yaitu ‘gstreamer0.10-fluendo-mp3′ dan ‘gstreamer0.10-plugins-ugly’. Untuk menginstalnya, tentu saja komputer kita harus terkoneksi dengan jaringan Internet.
Begitu pula ketika saya hendak memutar file video melalui aplikasi Movie Player. Ternyata harus menginstal plugin ‘gstreamer0.10-ffmpeg’ terlebih dahulu. Sebelumnya, muncul kotak dialog seperti di bawah ini.
plugin gstreamer
gambar 14 (kotak dialog pencarian plugin)
Wah, cukup merepotkan kalau begitu. Harusnya sih sudah ‘built-in’ (agar pengguna tinggal menggunakan aplikasi multimedia yang sudah terinstal). Mengapa pengembang Ubuntu mengabaikan hal ini?
Di luar beberapa kekurangan yang saya temui di atas, Ubuntu 11.10 pada dasarnya membawa sejumlah perubahan yang cukup drastis dari versi sebelumnya. Tentu saja belum bisa saya katakan memuaskan. Untuk masalah driver VGA SiS 671 saja, saya belum menemukannya dalam bundel paket Ubuntu 11.10 ini, sehingga pengguna harus berjuang lagi untuk menginstal driver tersebut (agar resolusi layar monitor komputer mereka benar-benar sesuai aslinya).

Bagi Anda yang sudah mencoba Ubuntu 11.10, apa pendapat Anda mengenainya?

0 komentar:

Posting Komentar